Selasa, 19 April 2011

ARYA PENANGSANG

Arya Penangsang adalah seorang adiati di Jipang Panolan yang sakti dan memiliki sifat pendendam. Dengan sifatnya itu, ia memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi nyawa Raja Kerajaan Demak, Sunan Prawata. Tidak puas dengan itu, Arya Penangsang pun berniat untuk membinasakan Sultan Hadiwijaya yang berkedudukan di Pajang. Mengapa Arya Penangsang mendendam kepada Sunan Prawata? Lalu, berhasilkah ia membinasakan Sultan Hadiwijaya? Jawabannya dapat Anda temukan dalam cerita Arya Penangsang berikut ini. 



Pada masa pemerintahaan Kesultanan Demak, tersebutlah seorang adipati yang bernama Arya Penangsang. Ia berkedudukan di Kadipaten Jipang Panolan, Jawa Tengah. Arya Penangsang adalah putra Raden Kikin atau yang biasa dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang tewas di tepi sungai Bengawan Solo).

Menurut cerita, Raden Kikin tewas di tangan Raden Mukmin atau Sunan Prawata dalam sebuah peperangan karena memperebutkan tahta Kerajaan Demak untuk menggantikan Sultan Trenggana yang telah wafat (1546 M). Setelah itu, Sunan Prawata pun dinobatkan sebagai Sultan Demak.

Adipati Arya Penangsang yang mendapatkan dukungan gurunya, Sunan Kudus, berniat untuk merebut tahta Kesultanan Demak dari tangan Sunan Prawata. Keinginan tersebut muncul bukan saja karena ia ingin menguasai Kerajaan Demak, tetapi juga untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.

Pada suatu malam di tahun 1549 M, Arya Penangsang memerintahkan pasukan khusus Jipang Panolan yang dikenal dengan nama Pasukan Sureng untuk membinasakan Sunan Prawata. Pasukan itu dipimpin oleh Rangkud. Setibanya di kediaman Sunan Prawata, Rangkut berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar tidur Sunan Prawata sementara para anak buahnya berjaga-jaga di luar.

Ketika itu, Sunan Prawata sedang menderita sakit sehingga tidak dapat berbuat banyak selain pasrah. Ia pun mengakui kesalahannya dan rela untuk diakhiri hidupnya oleh orang yang tidak dikenalnya itu.
“Hai, Kisanak, habisilah nyawaku! Aku akan bertanggung jawab atas kematian Raden Kikin. Tapi, tolong kamu jangan melukai istriku!” iba Sunan Prawata.

Rangkud mengabulkan permintaan itu. Namun, ketika ia menghujamkan kerisnya ke tubuh Sunan Prawata, ternyata keris itu tembus hingga mengenai tubuh istri Sunan Prawata yang berlindung di balik punggung suaminya. Tak ayal lagi, istri Sunan Prawata pun tewas.

Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawata menjadi marah. Dalam keadaan terluka parah, ia segera mencabut keris yang menancap di tubuhnya lalu dilemparkannya ke arah Rangkud. Sunan Prawata pun berhasil membinasakan Rangkud sebelum dirinya menghembuskan nafas terakhir.

Sementara itu, Arya Penangsang yang telah menguasai Demak semakin bengis. Ia pun berniat membinasakan menantu Sultan Trenggana yang bernama Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir di Pajang. Untuk itu, ia mengutus empat orang anak buahnya ke Pajang. Setibanya di sana, keempat utusan tersebut justru tertangkap oleh Sultan Hadiwijaya. Namun, mereka tidak dihukum melainkan diberi hadiah dan disuruh kembali ke Jipang.

Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah tersebut tentu saja membuat Arya Penangsang tersinggung dan sangat marah. Ia pun memutuskan untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya sendiri.

Sultan Hadiwijaya yang mengetahui kabar tersebut menganggap Arya Penangsang telah memberontak terhadap Pajang. Namun, ia tidak ingin memerangi Arya Penangsang secara langsung karena mereka sama-sama anggota keluarga Demak dan saudara seperguruan, yaitu sama-sama murid Sunan Kudus. Untuk menghadapi pemberontak itu, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara. Barang siapa mampu membinasakan Arya Penangsang, maka ia akan diberi hadiah tanah di daerah Pati dan hutan Mataram.

Atas desakan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan dan adik angkatnya, Ki Penjawi, yang merupakan abdi dalem Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara tersebut. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani segera menyusun rencana dan taktik peperangan melawan Arya Penangsang. Ki Juru Martani menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk mengusahakan agar mereka dapat membawa tombak pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan perang karena hanya tombak itulah yang mampu melukai Arya Penangsang.

Atas saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan memohon kepada Sultan Hadiwijaya untuk membawa serta anak angkat sang Sultan yang bernama Danang Sutawijaya ke medan perang. Dengan begitu, Sultan Hadiwijaya akan meminjamkan keris pusakanya kepada putra angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun menyetujuinya.

Pada hari yang telah ditentukan, Ki Ageng Pamanahan bersama rombongannya berangkat menuju daerah Jipang. Penyerangan itu dipimpin oleh Ki Juru Martani. Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang merupakan tapal batas wilayah Sela dan Jipang, Ki Juru Martani segera mengatur siasat. Danang Sutawijaya tampak berdiri di samping seekor kuda putih yang akan ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang ujungnya ditutupi kain putih dan diberi rangkaian bunga melati.

Tak jauh dari tempat pasukan Pajang bersembunyi, tampak seorang pekatik (pemelihara kuda) yang sedang mencari rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki Juru Martani pun segera menangkap pekatik itu lalu melukai telinganya dan mengalunginya surat tantangan. Setelah itu, si pekatik disuruh segera kembali ke Jipang untuk menghadap Arya Penangsang.

Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di hadapan Arya Penangsang. Isi surat itu berbunyi seperti berikut:
Hei, Penangsang! Yen sira nyata lanang sejati, payo tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang! Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning tyas kapeing nigas janggamu!”
Artinya: “Hai, Penangsang! Jika kamu nyata lelaki sejati, mari bertanding denganku! Aku tunggu di pinggir sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki! Berangkatlah tanpa prajurit! Aku orang Sela sudah gatal ingin memenggal kepalamu!”

Mengetahui isi surat itu, Arya Penangsang langsung menggebrak meja di sampingnya. Ia lalau segera mengenakan pakaian perang dan keris pusakanya yang bernama Kyai Setan Kober.
“Prajurit! Siapkan Kyai Gagak Rimang!” seru Arya Penangsang.

Kyai Gagak Rimang adalah kuda andalan Arya Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak Rimang perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan besar serta sangat lincah. Warna bulunya yang hitam mengkilap membuatnya tampak berwibawa.

Dengan mata merah penuh amarah, Arya Penangsang segera menunggangi Kyai Gagak Rimang menuju sungai tapal batas wilayah Jipang. Setibanya di tepi sungai, Arya Penangsang melihat seorang anak kecil yang sedang menunggang kuda putih di seberang sungai. Anak kecil itu tak lain adalah Sutawijaya yang sudah siap dengan tombak pusakanya. Melihat kedatangan Arya Penangsang, Danang Sutawijaya berteriak dengan suara nyaring.
“Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau kamu berani!”

Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar suara anak kecil yang menantangnya itu. Ia tidak sanggup lagi menahan emosinya. Dengan segera ia menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang sehingga kuda itu meringkik dan berlari menapaki dasar Sungai Bengawan yang hanya setinggi lutut. Betapa senangnya hati Danang Sutawijaya melihat Arya Penangsang mendahuluinya mencebur ke sungai. Konon, jika terjadi peperangan atau pertarungan di Sungai Bengawan, pihak yang lebih dahulu turun ke sungai pasti akan kalah.

Tanpa ragu lagi, Sutawijaya segera menghela kuda putihnya turun ke sungai. Begitu ia berhadap-hadapan dengan Arya Penangsang, putra Ki Ageng Pamanahan itu segera memutar arah kudanya sehingga membelakangi kuda Arya Penangsang. Kuda hitam kesayangan Arya penangsang pun tiba-tiba bertingkah aneh dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi Sutawijaya ternyata kuda betina. Kemaluan kuda putih terlihat dengan jelas karena ekornya sengaja diikat ke atas.

Semakin lama Kyai Gagak Rimang semakin liar dan berontak hingga Arya Penangsang kerepotan mengendalikannya. Melihat Arya Penangsang sibuk mengendalikan kudanya, Sutawijaya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera menusukkan tombak pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga robek hingga sebagian ususnya terburai.


Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih hidup. Ia berusaha meraih ususnya yang terburai itu lalu dikalungkannya pada warangka keris pusaknya. Setelah itu, ia segera menarik tali kekang kudanya untuk mengejar Sutawijaya. Begitu mendekat, Arya Penangsang meraih tubuh Sutawijaya yang kecil itu dan membantingnya ke tanah hingga tak berdaya. Arya Penangsang segera turun dari kudanya lalu menginjak dada Sutawijaya.

Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng Pamanahan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia segera menggunakan siasatnya dengan berpura-pura memihak kepada Arya Penangsang.
“Hai, Arya Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng Pamanahan.

Arya Penangsang pun baru sadar bahwa ternyata anak kecil yang diinjak dadanya itu adalah putra musuhnya. Dengan geram, ia segera mencabut keris Kyai Brongot Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika sebagian ususnya tersampir di warangka keris pusaka itu. Begitu ia mengangkat keris itu, seketika itu pula ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Adipati Jipang itu tersungkur ke tanah dan tewas seketika.

Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng Pemanahan beserta rombongannya kembali ke Pajang untuk melapor kepada Sultan Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat gembira mendengar kabar gembira itu. Sesuai dengan janjinya, maka ia pun menghadiahi Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi tanah di Pati dan tanah di hutan Mataram.

Setelah melalui perundingan, Ki Ageng Pamanahan mendapatkan bagian tanah di hutan Mataram sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bagian tanah di Pati. Atas restu Sultan Hadiwijaya, keduanya menuju ke bagian masing-masing. Ki Ageng Pamanahan pun mengajak putranya, Danang Sutawijaya, untuk ikut serta pindah dan menetap di daerah yang menjadi bagiannya. Di sana, mereka mengubah hutan belantara itu menjadi pusat kerajaan besar yang bernama Kerajaan Mataram.
* * *
Demikian cerita sejarah Arya Penangsang dari daerah Jawa Tengah, Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang memiliki sifat bengis dan pendendam seperti Arya Penangsang pada akhirnya akan mendapatkan musibah. Arya Penangsang tewas dalam pertarungan karena selalu kurang perhitungan dalam bertindak. Hal ini terjadi karena hati dan pikirannya telah digerogoti oleh sifat dendam sehingga ia menjadi kalap.

1 komentar:

  1. Cerita-cerita seperti ini sungguh amat perlu untuk dipublikasikan kepada generasi sekarang agar dapat mengerti cerita lokal untuk dapat diambil manfaatnya. barang tentu dengan kemasan yang sesuai dengan kondisi dan media alam sekarang.

    BalasHapus

 

DONGENG DAN CERITA RAKYAT INDONESIA Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Emocutez